kesehatan dan keselamatan kerja (k3) di perusahaan
A. Latar Belakang
Masalah K3
Masalah
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih sering
terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja.
Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja (”K3 Masih
Dianggap Remeh,” Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat
memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah.
Padahal karyawan adalah aset penting perusahaan.
Kewajiban
untuk menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan besar
melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih
perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen
K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan
bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal
jika diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan
kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai
lebih dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak
selayaknya diabaikan.
Di
samping itu, yang masih perlu menjadi catatan adalah standar keselamatan kerja
di Indonesia ternyata paling buruk jika dibandingkan dengan negara-negara Asia
Tenggara lainnya, termasuk dua negara lainnya, yakni Bangladesh dan Pakistan.
Sebagai contoh, data terjadinya kecelakaan kerja yang berakibat fatal pada
tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931 kasus, sementara di Bangladesh 11.768
kasus. Jumlah kecelakaan kerja yang tercatat juga ditengarai tidak
menggambarkan kenyataan di lapangan yang sesungguhnya yaitu tingkat kecelakaan
kerja yang lebih tinggi lagi. Seperti diakui oleh berbagai kalangan di
lingkungan Departemen Tenaga Kerja, angka kecelakaan kerja yang tercatat
dicurigai hanya mewakili tidak lebih dari setengah saja dari angka kecelakaan
kerja yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain
rendahnya kepentingan masyarakat untuk melaporkan kecelakaan kerja kepada pihak
yang berwenang, khususnya PT. Jamsostek. Pelaporan kecelakaan kerja sebenarnya
diwajibkan oleh undang-undang, namun terdapat dua hal penghalang yaitu prosedur
administrasi yang dianggap merepotkan dan nilai klaim asuransi tenaga kerja
yang kurang memadai. Di samping itu, sanksi bagi perusahaan yang tidak
melaporkan kasus kecelakaan kerja sangat ringan.
Sebagian besar dari kasus-kasus
kecelakaan kerja terjadi pada kelompok usia produktif. Kematian merupakan
akibat dari kecelakaan kerja yang tidak dapat diukur nilainya secara ekonomis.
Kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat seumur hidup, di samping berdampak
pada kerugian non-materil, juga menimbulkan kerugian materil yang sangat besar,
bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh
penderita penyakit-penyakit serius seperti penyakit jantung dan kanker.
B. Jenis Makalah Dan Lokasi Kejadian
Jenis
makalahnya adalah makalah tentang kecelakaan kerja yang terjadi di PT
Adaro, sebuah tambang batu bara di Kalimantan Selatan pada tahun
2007. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan kematian merupakan suatu kecelakaan
yang sangat serius di industri pertambangan. Kasusnya adalah seorang juru ledak
meninggal dunia akibat terkena batuan oleh suatu peledakan dari
hasil peledakan yang dikelolanya.
Sebuah
makalah yang dibuat oleh peneliti dari US Mine Safety and Health
Administration pada tahun 2001 menunjukkan bahwa terdapat empat
kategori utama kecelakaan kerja yang berhubungan dengan peledakan, yaitu:
(1) keselematan dan keamanan lokasi peledakan;
(2)
batu terbang atau flyrock,
(3)
peledakan premature (premature blasting) dan
(4) misfre
(peledakan mangkir)http://afandi92.multiply.com/journal/item/3
– _ftn1 .
Kasus
yang terjadi di Adaro merupakan salah satu jenis kecelakaan kerja
yang ditenggarai disebabkan oleh arah peledakan (keselamatan peledakan) dan
terkena batuan hasil peledakan yang dapat dikategorikan sebagai flyrock (pada
jarak yang dekat). Ini merupakan situasi yang masuk akal karena seorang juru
ledak memang berada di daerah yang paling dekat dengan pusat kegiatan
peledakan. Hal ini merupakan salah satu contoh perlunya pengetahuan yang lebih
mendalam dalam hal blasting management system (system
pengaturan atau pengontrolan peledakan) terhadap semua yang terlibat
di dalam kegiatan peledakan. Dalam suatu peledakan terdapat banyak
hal-hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil peledakan sesuai dengan
yang diinginkan oleh tambang yang bersangkutan. Batuan yang diledakkan dalam
hal ini bisa berwujud batu bara itu sendiri dan batuan penutup (overburdenand interburden).
Dalam
tambang emas kita mempunyai
istilah waste(sampah) dan ore (bijih emas) yang
harus diledakkan untuk memudahkan pengangkutan dan pencucian atau proses
permurnian bahan galian yang ditambang. Dalam kasus ini yang memegang peranan
penting adalah kontrol terhadap proses penembakan. Ada beberapa hal yang perlu
dilakukan adalah sebagi berikut:
- Desain peledakan. Bagian ini memegang peranan penting dalam mengurangi kecelakaan kerja yang berhubungan dengan aktivitas peledakan. Rancangan peledakan yang memadai akan mengidentifikasi jarak aman; jumlah isian bahan peledak per lubang atau dalam setiap peledakan; waktu tunda (delay period) yang diperlukan untuk setiap lubang ledak atau waktu tunda untuk setiap baris peledakan; serta arah peledakan yang dikehendaki. Jika arah peledakan sudah dirancang sedemikian rupa, juru ledak dan blasting engineer harus berkordinasi untuk menentukan titik dimana akan dilakukan penembakan (firing) dan radius jarak aman yang diperlukan. Ini perlu dilakukan supaya juru ledak memahami potensi bahaya yang berhubungan dengan broken rock hasil peledakan and batu terbang (flyrock) yang mungkin terjadi.
- Training kepada juru ledak. Hal ini sangat penting dilakukan, karena sumber daya ini memegang peranan penting untuk menerjemahkan keinginan insinyur tambang yang membuat rancangan peledakan. Hal ini sudah diatur dalam Keputusan Menteri[2], yang mengharuskan setiap juru ledak harus mendapatkan training yang memadai dan hanya petugas yang ditunjuk oleh Kepala Teknik Tambang yang bersangkutan yang dapat melakukan peledakan. Juru ledak dari tambang tertentu tidak diperbolehkan untuk melakukan peledakan di tambang yang lain karena Karakterisktik suatu tambang yang berbeda-beda.
- Prosedur kerja yang memadai. Prosedur kerja atau biasa disebut SOP (Safe Operating Procedure) ini memegang peranan penting untuk memastikan semua kegiatan yang berhubungan dengan peledakan dilakukan dengan aman dan selalu mematuhi peraturan yang berlaku, baik peraturan pemerintah maupun peraturan di tambang yang bersangkutan. Prosedur ini biasanya dibuat berdasarkan pengujian resiko (risk assessment) yang dilakukan oleh tambang tersebut sebelum suatu proses kerja dilakukan. Prosedur ini mencakup keamanan bahan peledak, proses pengisian bahan peledak curah, proses perangakaian bahan peledak , proses penembakan (firing) termasuk jarak aman dan clearing daerah disekitar lokasi peledakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori K3
K3
atau Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu sistem program yang dibuat
bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya
kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja
dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal
demikian.
Tujuan
dari dibuatnya sistem ini adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila
timbul kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja. Namun patut
disayangkan tidak semua perusahaan memahami arti pentingnya K3 dan bagaiman
mengimplementasikannya dalam lingkungan perusahaan. Dalam tulisan sederhana ini
penulis mencoba mengambarkan arti pentingnya K3 dan akibat hukum apabila tidak
dilaksanakan. K3 Adalah hal yang sangat penting bagi setiap orang
yang bekerja dalam lingkungan perusahaan, terlebih yang bergerak di bidang
produksi khususnya, dapat pentingnya memahami arti kesehatan dan
keselamatan kerja dalam bekerja kesehariannya untuk kepentingannya sendiri
atau memang diminta untuk menjaga hal-hal tersebut untuk meningkatkan kinerja
dan mencegah potensi kerugian bagi perusahaan. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah seberapa penting perusahaan berkewajiban menjalankan prinsip K3 di
lingkungan perusahaannya. Patut diketahui pula bahwa ide tentang K3 sudah ada
sejak 20 (dua puluh) tahun lalu, namun sampai kini masih ada pekerja dan
perusahaan yang belum memahami korelasi K3 dengan peningkatan kinerja
perusahaan, bahkan tidak mengetahui aturannya tersebut. Sehingga seringkali
mereka melihat peralatan K3 adalah sesuatu yang mahal dan seakan-akan
mengganggu proses berkerjanya seorang pekerja. Untuk menjawab itu kita harus
memahami filosofi pengaturan K3 yang telah ditetapkan pemerintah dalam
undang-undang.
Tujuan
Pemerintah membuat aturan K3 dapat dilihat pada Pasal 3 Ayat 1 UU No.
1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, yaitu:
- mencegah dan mengurangi kecelakaan;
- mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
- mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
- memberi kesempatan atau jalan menyelematkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
- memberikan pertolongan pada kecelakaan;
- memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;m
- mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar-luaskan suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran;
- mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik maupun psikhis, peracunan, infeksi dan penularan;
- memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
10. menyelenggarakan suhu dan
lembab udara yang baik;
11. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
11. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
12. memelihara kebersihan, kesehatan
dan ketertiban;
13. memperoleh keserasian antara
tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya;
14. mengamankan dan memperlancar
pengangkutan orang, binatang, tanaman atau batang;
15. mengamankan dan memelihara
segala jenis bangunan;
16. mengamankan dan memperlancar
pekerjaan bongkar-muat, perlakuan dan penyimpanan
barang;
17. mencegah terkena aliran listrik
yang berbahaya;
- menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang berbahaya
- kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
Dari
tujuan pemerintah tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa dibuatnya aturan
penyelenggaraan K3 pada hakekatnya adalah pembuatan syarat-syarat keselamatan
kerja sehingga potensi bahaya kecelakaan kerja tersebut dapat dieliminir.
B. Dasar Hukum Peraturan K3
Berbicara
penerapan K3 dalam perusahaan tidak terlepas dengan landasan hukum penerapan K3
itu sendiri. Landasan hukum yang dimaksud memberikan pijakan yang jelas
mengenai aturan apa dan bagaimana K3 itu harus diterapkan. Adapun sumber
hukum penerapan K3 adalah sebagai berikut:
1)
UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
2)
UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
3)
PP No. 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.
4)
Keppres No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja.
5)
Permenaker No. Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan,
pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.
Semua produk perundang-undangan pada
dasarnya mengatur tentang kewajiban dan hak Tenaga
Kerja terhadap Keselamatan Kerja untuk:
- Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan kerja;
- Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
- Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
- Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
- Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya
sebagai perwujudan program K3 yang ditujukan sebagai program perlindungan
khusus bagi tenaga kerja, maka dibuatlah Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yaitu
suatu program perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang
sebagai pengganti sebagian pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau
berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh
tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan
meninggal dunia.
Program
jamsostek lahir dan diadakan dan selanjutnya dilegitimasi dalam UU No. 3 Tahun
1992 tentang Jamsostek sebagai pengakuan atas setiap tenaga kerja berhak atas
jaminan sosial tenaga kerja. Sedangkan ruang lingkup program jaminan sosial
tenaga kerja dalam Undang-undang ini meliputi:
1)
Jaminan Kecelakaan Kerja;
2)
Jaminan Kematian;
3)
Jaminan Hari Tua;
4)
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
Program
Jamsostek sebagai pengejawantahan dari program K3 diwajibkan berdasarkan Pasal
2 Ayat 3 PP No. 14 Tahun 1993 bagi setiap perusahaan, yang memiliki kriteria
sebagai berikut:
1)
Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja 10 orang atau lebih;
2)
Perusahaan yang membayar upah paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)
per bulan (walaupun kenyataannya tenaga kerjanya kurang dari 10 orang).
Akibat
hukum bagi perusahaan yang tidak menjalankan program jamsostek ini adalah
Pengusaha dapat dikenai sanksi berupa hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Apabila setelah dikenai sanksi tersebut si pengusaha tetap tidak mematuhi
ketentuan yang dilanggarnya, maka ia dapat dikenai sanksi ulang berupa hukuman
kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan dan dicabut ijin usahanya, apabila
pengusaha melakukan hal-hal sebagai berikut:
1)
Tidak memenuhi hak buruh untuk mengikuti program Jamsostek;
2)
Tidak melaporkan adanya kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerja kepada
Kantor
Depnaker dan Badan Penyelenggara dalam waktu
tidak lebih dari 2 kali 24 jam (2 hari);
3)
Tidak melaporkan kepada Kantor Depnaker dan Badan Penyelenggara dalam wakt
tidak
lebih dari 2 kali 24 jam (2 hari)
setelah si korban dinyatakan oleh dokter yang
merawatnya bahwa ia telah sembuh,
cacad atau meninggal dunia;
4)
Apabila pengusaha melakukan pentahapan kepesertaan program jamsostek, tetapi
melakukan juga pentahapan pada program jaminan
kecelakaan kerja (program
kecelakaan kerja mutlak diberlakukan kepada
seluruh buruh tanpa terkecuali);
Hal
tersebut diatas berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1)
dan (2) UU No. 3 tahun 1992 & pasal 27 sub a PP No. 14 tahun 1993. Sanksi
lain yang mungkin diterapkan adalah berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan
(2) UU No. 3 tahun 1992 pada Pengusaha dapat dikenai sanksi berupa hukuman
kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Apabila setelah dikenai sanksi tersebut
si pengusaha tetap tidak mematuhi ketentuan yang dilanggarnya, maka ia dapat
dikenai sanksi ulang berupa hukuman kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan
dan, apabila pengusaha melakukan hal-hal sebagai berikut:
1)
tidak
mengurus hak tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja kepada Badan
Penyelenggara sampai memperoleh hak-haknya;
2)
tidak
memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya, daftar upah beserta
perubahan-perubahan dan daftar kecelakaan
kerja di perusahaan atau bagian perusahaan
yang
berdiri sendiri;
3)
tidak
menyampaikan data ketenagakerjaan dan data perusahaan yang berhubungan
dengan penyelenggaraan program jamsostek
kepada Badan Penyelenggara;
4)
menyampaikan
data yang tidak benar sehingga mengakibatkan ada tenaga kerja yang
tidak terdaftar sebagai peserta program
jamsostek;
5)
menyampaikan
data yang tidak benar sehingga mengakibatkan kekurangan
pembayaran jaminan kepada si korban;
6)
menyampaikan
data yang tidak benar sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran
jaminan oleh Badan Penyelenggara;
7)
apabila
pengusaha telah memotong upah buruh untuk iuran program jamsostek
tetapi tidak membayarkannya kepada Badan
Penyelenggara dalam waktu yang
ditetapkan;
Selain
sanksi-sanksi yang sudah disebutkan diatas, ada pula sanksi administratif
berupa pencabutan ijin usaha seperti yang diatur dalam Pasal 47 sub a PP No. 14
tahun 1993. Peringatan ini dapat dikenakan apabila pengusaha melakukan
tindakan-tindakan sebagai berikut:
1)
tidak
mendaftarkan perusahaan dan tenaga kerjanya sebagai peserta program
Jamsostek kepada Badan Penyelenggara walaupun
perusahaannya memenuhi
kriteria
untuk berlakunya program Jamsostek;
2)
tidak
menyampaikan kartu peserta program jaminan sosial tenaga kerja kepada
masing-masing tenaga kerja dalam waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak
diterima dari Badan Penyelenggara;
3)
tidak melaporkan perubahan:
- alamat perusahaan
- kepemilikan perusahaan
- jenis atau bidang usaha
- jumlah tenaga kerja dan keluarganya – besarnya upah setiap tenaga kerja palling lambat 7 (tujuh) hari sejak terjadinya perubahan;
4)
tidak memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan bagi tenaga kerja
yang tertimpa
kecelakaan;
5)
tidak melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja dalam waktu tidak
lebih dari 2 x 24 jam setelah ada hasil
diagnosis dari Dokter Pemeriksa;
6)
tidak membayar upah tenaga kerja yang bersangkutan selama tenaga kerja
yang tertimpa kecelakaan kerja masih belum mampu
bekerja, sampai adanya penetapan dari menteri.
Pengusaha dapat pula dikenakan denda
sebesar 2% untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari iuran yang
seharusnya dibayar, apabila melakukan keterlambatan pembayaran iuran program
Jamsostek. Selanjutnya apabila ada pengusaha yang tidak menjalankan
program jamsostek padahal telah memenuhi kriteria, maka pekerja yang cepat
tanggap dapat melaporkan hal ini pada Departemen Tenaga Kerja, yang
kemudian akan diadakan penyelidikan terhadap perusahaan selanjutnya ditangani
oleh petugas-petugas penyelidik dalam hukum acara, yaitu:
1)
Kepolisian Republik Indonesia
2)
Pegawai negeri sipil yang mempunyai kewenangan dalam hal ini pegawai pengawas
Depnaker.
BAB III
ANALISIA K3 DITEMPAT KERJA
A. Faktor Penyebab
Penyebab Kecelakaan kerja & PAK
1. Penyebab Langsung (
Immediate Causes)
Penyebab langsung Kecelakaan Adalah
suatu keadaan yang biasanya bisa dilihat dan di rasakan langsung, yang di bagi
2 kelompok:
A. Tindakan-tindakan tidak
aman (unsafe acts) yaitu Perbuatan berbahaya dari dari manusia yang
dalam bbrp hal dapat dilatar belakangi antara lain:
- Cacat tubuh yang tidak kentara (bodilly defect)
- Keletihan dan kelesuan (fatigiue and boredom)
- Sikap dan tingkak laku yang tidak aman
- Pengetahuan.
B. Kondisi yang tidak
aman (unsafe condition) yaitu keadaan yang akan menyebababkan
kecelakaan, terdiri dari:
- Mesin, peralatan, bahan.
- Lingkungan
- Proses pekerjaan
- Sifat pekerjaan
- Cara kerja
2. Penyebab Dasar (Basic
causes).
Penyebab Dasar (Basic Causes),
terdiri dari 2 faktor yaitu
A. Faktor manusia/personal
(personal factor)
- Kurang kemampuan fisik, mental dan psikologi
- Kurangnya /lemahnya pengetahuan dan skill.
- Stres.
- Motivasi yang tidak cukup/salah
B. Faktor kerja/lingkungan
kerja (job work enviroment factor)
- Factor fisik yaitu, kebisingan, radiasi, penerangan, iklim dll.
- Factor kimia yaitu debu, uap logam, asap, gas dst
- Factor biologi yaitu bakteri,virus, parasit, serangga.
- Ergonomi dan psikososial.
Menurut Henrich faktor penyebab
kecelakaan disebabkan oleh faktor Tindakan-tindakan tidak aman (unsafe acts)
80 % dan Kondisi yang tidak aman (unsafecondition) 20%. Menurut Suma’mur
faktor penyebab kecelakaan disebabkan oleh faktor Tindakan-tindakan tidak aman
(unsafe acts) 85 % dan Kondisi yang tidak aman (unsafe condition) 15 %. Menurut
Hastuti dan Adiatma faktor penyebab kecelakaan disebabkan oleh faktor
Tindakan-tindakan tidak aman (unsafe acts) 85 % dan Kondisi yang tidak aman
(unsafe condition) 10% dan faktor alam (act of god) 5%. Menurut Phoon (1988),
penyebab kecelakaan sangat banyak, beraneka ragam, dan kompleks.
Faktor utama yang menyebabkan
kecelakaan adalah:
- Lingkungan kerja
- Metode kerja
- Pekerja sendiri
Namun pada akhirnya semua kecelakaan
baik langsung maupun tidak langsung, di akibatkann kesalahan manusia.
Selalu ada resiko kegagalan (risk of
failures) pada setiap proses/ aktifitas pekerjaan. Dan saat kecelakaan kerja
(work accident) terjadi, seberapapun kecilnya, akan mengakibatkan efek kerugian
(loss). Karena itu sebisa mungkin dan sedini mungkin, kecelakaan/ potensi
kecelakaan kerja harus dicegah/ dihilangkan, atau setidak-tidaknya dikurangi
dampaknya.
Penanganan masalah keselamatan kerja
di dalam sebuah perusahaan harus dilakukan secara serius oleh seluruh komponen
pelaku usaha, tidak bisa secara parsial dan diperlakukan sebagai
bahasan-bahasan marginal dalam perusahaan. Salah satu bentuk keseriusan itu
adalah resourcing, baik itu finansial dan MSDM.
Secara umum penyebab kecelakaan di
tempat kerja adalah sebagai berikut:
- Kelelahan (fatigue)
- Kondisi tempat kerja (enviromental aspects) dan pekerjaan yang tidak aman (unsafe working condition)
- Kurangnya penguasaan pekerja terhadap pekerjaan, ditengarai penyebab awalnya (pre-cause) adalah kurangnya training
- Karakteristik pekerjaan itu sendiri.
- Hubungan antara karakter pekerjaan dan kecelakaan kerja menjadi fokus bahasan yang cukup menarik dan membutuhkan perhatian tersendiri. Kecepatan kerja (paced work), pekerjaan yang dilakukan secara berulang (short-cycle repetitive work), pekerjaan-pekerjaan yang harus diawali dengan “pemanasan prosedural”, beban kerja (workload), dan lamanya sebuah pekerjaan dilakukan (workhours) adalah beberapa karakteristik pekerjaan yang dimaksud.
- Penyebab-penyebab di atas bisa terjadi secara tunggal, simultan, maupun dalam sebuah rangkain sebab-akibat (cause consequences chain).
Menyimak dari kecelakaaan yang
terjadi di Adaro, terdapat dua hal yang menjadi penyebab langsung (immediate
causes) yang menyebabkan kejadian tersebut, yaitu, jarak aman dan arah
peledakan. Jarak aman pada suatu peledakan (safe blasting parameter)
saat ini memang tidak mempunyai standard yang dibakukan, termasuk
tambang-tambang di Australia. Di dalam Keputusan Menteri-pun, tidak dijelaskan
secara detail berapa jarak yang aman bagi manusia dari lokasi peledakan. Hal
ini disebabkan oleh setiap tambang mempunyai metode peledakan yang berbeda-beda
tergantung kondisi daerah yang akan diledakkan dan tentu saja hasil peledakan
yang dikehendaki. Akan tetapi bukan berarti setiap juru ledak boleh menentukan
sendiri jarak aman tersebut. Keputusan mengenai keselamatan khususnya jarak
aman tersebut berada pada seorang Kepala Teknik Tambang yang ditunjuk oleh
perusahaan setelah mendapat pengesahan dari Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang.
Di tambang-tambang terbuka di
Indonesia, jarak aman terhadap manusia boleh dikatakan hampir mempunyai
kesamaan yaitu dalam kisaran 500 meter. Dari mana jarak ini diperoleh? Jelas
seharusnya dari hasil risk assessment (pengujian terhadap
resiko) yang telah dilakukan di tambang-tambang tersebut. Risk
assessment ini tidak saja berbicara secara teknik peledakan dan
pelaksaannya, namun perlu juga dimasukkan contoh-contoh hasil perbandingan dari
tambang-tambang yang ada baik di dalam ataupun luar negeri. Jarak aman dari
hasil risk assessment inilah yang seharusnya menjadi acuan bagi pembuatan
prosedur kerja dalam lingkup pekerjaan peledakan di lapangan. Walaupun ada
beberapa tambang yang membuat standard yang lebih kecil dari 500 meter; tapi
hal itu diperbolehkan sepanjang risk assessment sudah
dilakukan dan sudah disetujui oleh Kepala Teknik Tambang yang bersangkutan.
Biarpun tidak menutup kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap jarak aman
dari peledakan, akan tetapi seorang juru ledak yang kompeten semestinya akan
mentaati aturan dan prosedur kerja. Pelanggaran prosedur kerja akan berakibat
fatal, baik bagi diri dia sendiri, teman kerja maupun ada perusahaan tempat dia
bekerja.
B. Cara Penanganan Dari Segi Hukum
Kesehatan.
Membicarakan aspek hukum tentang
kesehatan kerja pada masa kini harus diketahui pula tentang program Asuransi
Tenaga Kerja (Astek). Program ini sangat penting untuk tenaga kerja yang bukan
pegawai negeri sipil dan anggota ABRI.
Program ini dilaksanakan berdasarkan
pengalaman banyaknya korban yang terjadi akibat kecelakaan kerja yang
mendatangkan kerugian bark jasmani maupun rohani. Karena itu, pemerintah
membuat satu jaminan sosial bagi pekerja yang dapat kecelakaan pada waktu
melakukan pekerjaan di suatu perusahaan.
Jaminan sosial ini bertujuan memberikan perlindungan terhadap risiko sosial ekonomi yang menimpa pekerja. Ketentuan pokok mengenai jaminan sosial ini diatur dalam Undang-undang No. 14 tahun 1969. Salah satu dari jaminan ini adalah program Astek. Menunit Peraturan Pemerintah RI No. 33 tahun 1977 tentang Astek, programnya adalah berupa Asuransi Kecelakaan Kerja, Asuransi Tabungan Hari Tua dan Asuransi Kematian.
Jaminan sosial ini bertujuan memberikan perlindungan terhadap risiko sosial ekonomi yang menimpa pekerja. Ketentuan pokok mengenai jaminan sosial ini diatur dalam Undang-undang No. 14 tahun 1969. Salah satu dari jaminan ini adalah program Astek. Menunit Peraturan Pemerintah RI No. 33 tahun 1977 tentang Astek, programnya adalah berupa Asuransi Kecelakaan Kerja, Asuransi Tabungan Hari Tua dan Asuransi Kematian.
Dalam pasal 3 ayat 1 Peraturan
Pemerintah ini dijelaskan bahwa setiap perusahaan wajib menyelenggarakan
program Astek. Dengan demikian, program ini akan memberikan jaminan terhadap
kecelakaan, penyakit atau kematian yang timbul dan dengan hubungan kerja.
Ada pula Undang-undang Kecelakaan
diumumkan tahun 1947, undang-undang ini dinyatakan berlaku pada tahun 1951.
Undang-undang kecelakaan ini disebut juga Undang-undang Kompensasi Pekerja
(Workmen Compensation Law) mengatur tentang penggantian kerugian kepada buruh
yang mendapat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.
Beberapa pasal yang patut diketahui
antara lain adalah:
- Di perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan, majikan berkewajiban membayar ganti rugi kepada buruh yang mendapat kecelakaan berhubungan dengan hubungan kerja pada perusahaan itu.
- Penyakit yang timbul karena hubungan kerja dipandang sebagai kecelakaan.
- Jikalau buruh meninggal dunia akibat kecelakaan yang demikian itu, kewajiban membayar kerugian itu berlaku terhadap keluarga yang ditinggalkannya.
- Dan seterusnya.
Penanganan yang harus dilakukan oleh
perusahaan adalah pengantirugian atas tewas nya para pekerja. Perusahaaan wajib
memberikan tunjangan atau ganti rugi pada pihak keluarga yang ditinggalkan
berdasarkan ketentuan perusahaan. Dan apabila perusahaan ikut jamsostek maka
jamsostek juga ikut memberi ganti rugi atau tunjangan pada keluarga korban.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seiring dengan berkembangnya dunia
industri, dunia kerja selalu dihadapkan pada tantangan-tantangan baru yang
harus bisa segera diatasi bila perusahaan tersebut ingin tetap eksis. Berbagai
macam tantangan baru muncul seiring dengan perkembangan jaman. Namun masalah
yang selalu berkaitan dan melekat dengan dunia kerja sejak awal dunia industri
dimulai adalah timbulnya kecelakaan kerja.
Terjadinya kecelakaan kerja tentu
saja menjadikan masalah yang besar bagi kelangsungan sebuah perusahaan.
Kerugian yang diderita tidak hanya berupa kerugian materi yang cukup besar
namun lebih dari itu adalah timbulnya korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.
Kehilangan sumber daya manusia ini merupakan kerugian yang sangat besar karena
manusia adalah satu-satunya sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh
teknologi apapun.
Kerugian yang langsung yang nampak
dari timbulnya kecelakaan kerja adalah biaya pengobatan dan kompensasi kecelakaan.
Sedangkan biaya tak langsung yang tidak nampak ialah kerusakan alat-alat
produksi, penataan manajemen keselamatan yang lebih baik, penghentian alat
produksi, dan hilangnya waktu kerja. Jumlah kerugian materi yang timbul akibat
kecelakaan kerja sangat besar. Tentu saja perusahaan-perusahaan tersebut tidak
tinggal diam dalam menghadapi angka kecelakaan yang begitu besar.
Perusahaan-perusahaan banyak mengeluarkan dana setiap tahun untuk meningkatkan
keselamatan di lingkungan perusahaan agar angka kecelakaan kerja yang tinggi
bisa diatasi. Dana yang besar tersebut digunakan terutama untuk menambah
alat-alat keselamatan kerja (alat pemadam kebakaran, rambu-rambu, dll),
memperbaiki proses produksi agar lebih aman dan meningkatkan sistem manajemen
keselamatan kerja secara keseluruhan. Dalam beberapa tahun terakhir memang
upaya tersebut bisa mengurangi angka kecelakaan kerja. Namun masih jauh untuk
mencapai angka kecelakaan kerja yang minimal.
Kenyataan bahwa ternyata perbaikan
yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut belum bisa menurunkan angka
kecelakaan kerja seminimal mungkin membuat para ahli dibidang industri
bertanya-tanya faktor apakah yang terlupakan dalam mencegah terjadinya
kecelakaan kerja.
Kasus yang terjadi
di Adaro merupakan salah satu jenis kecelakaan kerja yang
ditenggarai disebabkan oleh arah peledakan (keselamatan peledakan) dan terkena
batuan hasil peledakan.
Perusahaan wajib memberikan ganti
rugi kepada pihak keluarga korban sebagai kompensasi berdasarkan uu yang telah
berlaku.
B. Saran
Dalam penyelenggaran K3 ada 3 (tiga)
hal penting yang harus diperhatikan:
Pertama, seberapa serius K3 hendak diimplementasikan dalam perusahaan.
Kedua, pembentukan konsep budaya malu dari masing-masing pekerja bila tidak melaksanakan K3, serta keterlibatan (dukungan) serikat pekerja dalam program K3 di tempat kerja.Ketiga, kualitas program pelatihan K3 sebagai sarana sosialisasi.
Pertama, seberapa serius K3 hendak diimplementasikan dalam perusahaan.
Kedua, pembentukan konsep budaya malu dari masing-masing pekerja bila tidak melaksanakan K3, serta keterlibatan (dukungan) serikat pekerja dalam program K3 di tempat kerja.Ketiga, kualitas program pelatihan K3 sebagai sarana sosialisasi.
Adapun hal lain yang tak kalah
pentingnya agar program K3 dapat terlaksana, adalah adanya suatu komite K3 yang
bertindak sebagai penilai efektivitas dan efisiensi program bahkan melaksanakan
investigasi bila terjadi kecelakaan kerja untuk dan atas nama pekerja yang
terkena musibah kecelakaan kerja.
Bila terjadi hal demikian, maka
hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
- Lingkungan Kerja terjadinya kecelakaan.
- Pelatihan, Instruksi, Informasi dan Pengawasan kecelakaan kerja.
- Kemungkinan resiko yang timbul dari kecelakaan kerja.
- Perawatan bagi korban kecelakaan kerja dan perawatan peralatan sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja yang telah dilakukan.
- Perlindungan bagi pekerja lain sebagai tindakan preventif.
- Aturan bila terjadi pelanggaran (sanksi).
- Pemeriksaan atas kecelakaan yang timbul di area kerja.
- Pengaturan pekerja setelah terjadi kecelakaan kerja.
- Memeriksa proses investigasi dan membuat laporan kecelakaan kepada pihak yang berwenang.
10. Membuat satuan kerja yang
terdiri atas orang yang berkompeten dalam penanganan kecelakaan di area terjadi
kecelakaan kerja.
perusahaan, atau dengan kata lain
adanya suatu kebijakan mutu K3 yang dijadikan acuan/pedoman bagi pekerja dan
pengusaha.
|
|||||||||||||||||
Tidak ada komentar:
Posting Komentar